Luka, Harapan, dan Secercah Cahaya dari Tuhan

"Luka, Harapan, dan Secercah Cahaya dari Tuhan"

Bagaimana aku bisa kuat, jika ternyata ada banyak alasan yang membuatku mudah melemah dan lelah. Bagaimana aku bisa tersenyum, jika nyatanya air mataku sudah menumpuk di pelupuk mataku. Bagaimana aku bisa bangkit, jika senyummu selalu buatku sakit. Dan... bagaimana aku bisa merasakan bahagia, jika bahagiaku dibawa oleh dirimu dan sayapku patah karenamu. Sebab, kaulah bagian dari kebahagiaan terbesar dalam hidupku dan kaulah yang selalu kubutuhkan.

Bagaimana?

Ach! Ini memang salahku. Kesalahan terbesarku karena telah menanam bebijian rasa sampai benar-benar menjadi pepohonan nan rindang. Ini memang salahku. Aku telah terjebak dalam cinta yang membutakan mata hati. Dan, kini aku pun tak tahu arah karena semua yang kulihat adalah kegelapan.



Dengan susah payah dan terlunta-lunta kucari-cari jalan keluar dari labirin nan pengap ini. Kuberlari, lantas jatuh lagi. Aku bangkit, lantas sukmaku didera sakit yang tak kunjung usai. Aku mencoba 'tuk berdiri, lantas aku diterjang badai yang membuncah, melumpuhkan sekujur tubuhku. Badai itu... bernama kenangan; kenangan lama.

Sungguh. Baru kali ini kutemui hal yang paling berbahaya selain melintasi segitiga bemuda. Dan, ihwal itu adalah KENANGAN yang belum usai dan kerap menggelayut di langit-langit benak. Sungguh! Kenangan lebih berbahaya. Sebab, kali ini aku sendiri yang merasakannya. Pun, menelan pahitnya sendiri. Aku pun kian merasakan sedan saat aku tengah menyesapi pilu itu seorang diri. Yang pada akhirnya, aku pulalah yang tersiksa karena ulahku sendiri.

"Semakin percikan KENANGAN tentangmu melembayang di pikiranku, semakin menganga pula luka yang kausayatkan pada sepotong hatiku." Aku meronta-ronta di kedalaman labirin itu. Embun pun menetes lembut di pipiku. Sepersekiandetik, air mataku pun kian memburai bagai derasnya hujan setelah kemarau panjang.

Waktu pun terus bergulir. Jelas sekali bahwa; dentang waktu tak pernah peduli pada luka yang tergores dihati. Pun, waktu tak pernah sudi 'tuk empati saat aku terpuruk pada puruk yang berkepanjangan. Sungguh. Waktu sangatlah acuh tak acuh padaku. Bahkan, nada detiknya seumpama mengejekku yang kian tak jelas arah dan tujuan. Dalam keheningan yang kian menjadi-jadi di dalam labirin itu, waktu seolah-olah melemparku ke palung samudera dilema nan gulita. Tiada berpelita.

"Ini semua salahku. Akulah yang paling salah. Aku telah melabuhkan hati sebelum Tuhan berkehendak dan berkata bahwa 'iya, dia adalah jodohmu'. Sungguh. Ini adalah kesalahan terbesar dalam hidupku. T'lah kulimpahkan segenap harapanku pada si dia yang kudambakan 'tuk jadi imamku kelas, tapi Allah berkehendak lain. Sang Pemilik Semesta telah merencanakan hal lain yang tak pernah kutahu. Yang kucinta ternyata memilih 'tuk pergi dan menyisakan luka di lubuk hati." Aku diguyur hujan penyesalan yang mendalam. Rinainya membasuh hatiku yang terluka parah.

Ya, hatiku terluka-- walau nyatanya hatiku tak bercucuran darah. Hatiku telah menyerpih tak berwujud lagi-- walau tak seorang pun yang tahu. Bahkan, air mataku bak membuat air bah di depan mataku sendiri, lantas aku pun karam di dalamnya; dalam bah yang kuciptakan sendiri dengan rangkaian kesedihan yang tak terperi.

"Ini salahku. Aku salah! Aku salah! Duhai hati yang terabaikan, maafkanlah daku yang telah melukaimu. Maafkan daku yang telah menumpahkan nestapa ke ruang hampa bernama hati. Maaf...." Aku mengutuki diriku sendiri. Aku dirundung penyesalan.

Hingga akhirnya, secercah sinar pun mendekatiku dari lorong nan jauh itu. Semakin detik berdentang pelan, cahaya itu pun makin mendekat ke arahku. Kemudian, ia melesat ke arahku dan merasuki jantung hatiku.

Dengan penuh keyakinan, aku pun bangkit dan mulai melangkah pasti. Slowly but surely. Senyuman simpul pun terukir di bibirku dan aku bergumam dalam hati, "Ternyata selama ini aku telah khilaf dan melupakan-Nya. Dan, saat aku benar-benar tersesat dalam lorong kepurukan, Dia (Allah) pun datang bersama nur nan gilang-gemilang sebagai petunjuk untukku." Aku pun berada di penghujung lorong nan temaram itu dan aku siap melangkah satu langkah lagi untuk benar-benar keluar dari sana. "Alhamdulillah... Robbi auzi'nii an asykuro ni'matakallatii an'amta 'alayya wa 'alaa waalidayya wa an a'mala shoolihantardoohu waadkhilnii min 'ibaadikasshoolihiin." Aku bersujud sebagai tanda syukur pada Sang Pemilik Hati-- Allah Subhanahu Wata'ala.

Kini aku pun sadar diri; bahwa harapan janganlah berlebihan sampai menutupi mata hati. Jangan! Harapan seperti itulah yang berbahaya. Cinta yang terlalu berlebihan pun jangan! Jangan!

"Cukup sampai di sini aku menyimpan asa untukmu, Duhai. Bukan karena aku t'lah lelah dan jengah. Bukan... Kau ingin tahu alasannya? Ya, karena aku tahu; bahwa cinta yang hakiki tidaklah meluluh-lantakkan hati dan jiwa seperti ini. Aku pun tersadar kini; bahwa segala yang berlebihan itu tidaklah benar. Maka, kali ini kubiarkan hatiku menghampa dan tak bertuan. Kosong. Sebab, kuyakini bahwa; rencana Allah lebih indah dari rencanaku."

***

Kamis, 11 Mei 2017
17:14 WIB

Komentar

  1. Sebuah wacana yang sesuai dengan jalan hidupku sebelumnya. Bedanya bukan tentang cinta, tapi penyakit yang kini saya rasakan bertahun-tahun. Terima kasih dek, atas tulisan yang membuatku termenung.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wa iyyaakum, Akhii........👍👍👍😊
      *urwel ➡➡➡ #ProcessOfPromotion

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Maka Biarkan Aku Menangis 💧

Celotehan Akhwat Akhir Zaman