Teka-Teki Rasa

"Jelas saja lukamu tak kunjung pergi dari lubuk hati. Sebab, ternyata kau selalu memanggilnya dengan tanpa sadar dan terus memikirkannya. Bahkan, mengharapkannya datang (lagi)."

Ukhtii... Untuk apa kau menangisinya yang telah pergi dengan yang lain? Untuk apa kau menimbun harapan padanya yang tak bersedia memberikanmu kepastian. Bukan hanya kepastian, bahkan karena sudah tak ada lagi harapan dan tak ada lagi cinta untukmu di ruang hatinya. Duhai, Ukhtii... Sadarlah!



Pabila kau berkata, "Aku tak bisa melupakannya." Itu adalah ungkapan yang keliru. Salah. Yang benar adalah; aku belum bisa melupakannya.

Melupakan memang tak semudah membalikkan telapak tangan. Entah itu karena terlalu banyak untaian KENANGAN yang telah ia ciptakan, entah itu karena kau berpikir bahwa dialah yang terbaik dan tak ada yang lebih baik dari dirinya,..., atau dalih apapun itu. Yang pasti... Ukhtii mesti bangkit dan mulai berjalan lagi.

Melupakan juga ada prosesnya, lho. Ingat! Untuk bisa belajar mengaji dengan tartil dan fasih saja kita perlu waktu untuk belajar. Pun, dengan melupakan.

Bagaimana kau bisa melupakannya jika kau tak belajar untuk melupakan? Mengaji saja kan belajar dulu. Berawal dari mengenal huruf Hijaiyyah, membaca qiro'ati, dan seterusnya. Melupakan pun sama. Ya, ada prosesnya. Ada tingkatannya.

"Sebenarnya, kita tidak akan pernah bisa melupakan KENANGAN, seseorang yang pernah di lubuk hati, atau apapun itu. Karena, benak dan hati terus hidup dan bergerak setiap waktu. Itu pun selama ruh kita masih tersemat dalam raga kita."

Jadi, bagaimana?

"Mungkin yang benar adalah mengikhlaskannya. Bukan melupakannya! Meski mengikhlaskan itu lebih sulit, tapi ternyata ikhlas adalah cara terbaik agar kita bisa benar-benar merelakannya. Ikhlas pun bisa menghasilkan buah manis pabila kita pupuk, lalu kita rawat baik-baik. Coba saja. Belajar ikhlas."

***

Duhai Ukhtii... Mungkin, kau tak sadar bahwa ada luka yang kian menganga di lubuk hati sejak kau tetap bertahan dalam durja... dan kau memilih 'tuk mengharapkannya. Mengharapkan kelak ia akan datang menjemputmu dan menyambut kembali cintamu. Tapi, lagi-lagi kau buta hati. Bahwa; sejujurnya, si dia yang kau tunggu-tunggu ternyata tak lagi memberimu kesempatan 'tuk menautkan (lagi) tali yang telanjur terputus dulu.

Ukhtii... Jika sudah begitu, apa mau dikata? Sementara, yang dirasa oleh qalbumu sendiri adalah serangkaian lara yang seakan-akan tiada habisnya. Baiknya, belajarlah ikhlas, Ukhtii... Belajarlah sedikit-sedikit tapi teratur, seperti yang diajarkan Nabi Sallallaahu 'Alaihi Wasallam dalam al-hadist (tapi perihal ibadah).

"Jika mengikhlaskanmu adalah jalan yang terbaik untukku. Kuharap, luka-luka yang telah kau ukir dalam sanubariku akan lekas sembuh dan pulih kembali."

"Cerita klasik bersamamu kini hanyalah cerita usang yang terbingkai indah dalam pahitnya KENANGAN. Dan, kini kusadar; bahwa misteri yang sebenar-benarnya adalah kenyataan di masa depan."

"Kini, aku tengah bermusafir 'tuk mengikhlaskanmu. Belajar mengikhlaskanmu. Perihal teka-teki rasa yang kerapkali kupertanyakan dalam doa sunyiku, biarlah Allah Subahaanahu Wa Ta'ala saja yang kan menyingkapkannya untukku."

***

Minggu, 28 Mei 2017
20:48 WIB
#RamadhanMubarak2 #CatatanHime #TausyiahCintaDalamAksara #TentangMengikhlaskan

Komentar

  1. Keren! Terus berkarya, tapi perhatikan juga cara penulisan dan penggunaan kata yang baik dan benar.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, Pak, akan diusahakan lagi. 😊

      Makasih atas komentarnya, Pak.....😊😊

      Hapus
    2. Iya, Pak, akan diusahakan lagi. 😊

      Makasih atas komentarnya, Pak.....😊😊

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Maka Biarkan Aku Menangis 💧

Teka-Teki Rasa dan Waktu

Sabar, Luka, dan Kepergian Tanpa Pamit