Sabar, Luka, dan Kepergian Tanpa Pamit

Aku yang menyayangimu tanpa pernah lelah. Aku yang merindukanmu, meski tak pernah tahu apakah rinduku ini terbalaskan. Aku juga yang mendoakanmu usai kubermunajat pada-Nya, walau ku tak tahu apakah kau pun merapal namaku dalam doamu. Aku tak tahu.

"Aku... Aku... Dan, selalu aku."



Kali ini, aku dihadapkan pada dua pilihan yang membuatku dilema. Pilihan yang entah akan menjadi awal ataupun akhir. Antara menitipkan cintamu pada-Nya atau membiarkan perasaan ini pergi tanpa menyisakan luka yang menyayat nurani, menyiksa. Ya, kuakui ini menyiksa.

Kucoba 'tuk memahami isi hatiku sendiri. Kucoba 'tuk melontarkan tanya pada sukmaku. 'Apakah aku benar-benar mencintainya?"

Bukan berarti aku ragu pada perasaan yang telah tumbuh dalam hatiku. Bukan... Aku hanya ingin meyakinkan sepotong hatiku saja. Bahwa ternyata benar, perasaan itu benar-benar ada. Bersemayam di sudut-sudut qalbu yang hampa. Bertengger pada pohon-pohon harapan yang melangit ke angkasa. Dan, di akarnya terdapat sebuah nama yang terpatri kokoh dan sulit 'tuk kupupuskan. Itulah namamu.

Bahkan, ketika bulir-bulir hujan membasahi malam nan sepi, hatiku pun terenyuh mendengar gemericiknya. Hatiku bergetar hebat. Tak kuasa menahan gejolak rindu yang bersarang di dalam dada. Walau terasa menyesakkan, tapi aku tetap menikmatinya. Itulah rindu. Terkadang menyiksa dan terkadang indah pada akhirnya.

Duhai Hujan, kutahu; rintikmu tahu dan paham tentang sesuatu. Sesuatu yang tak kutahu. Apakah kau tak mau memberitahuku; tentang perjuangan seseorang yang melawan dingin karena rinaimu nan deras malam itu? Apakah gemericikmu ditakdirkan 'tuk merahasiakan itu semua dariku?

Hujan, apa yang harus kukatakan pada hatiku? Sebab, langkahku terhenti di titik ini. Titik di mana aku harus terdiam sediam-diamnya. Sebab, aku tak bisa berbuat apa-apa, saat Langit Biruku siuh dari angkasaku. Ia t'lah pergi.

Duhai hati, kutahu ada pintu yang terbuka di lubuk sana. Ya, di lubuk hatiku. Aku pun tahu, ada bagian yang terluka begitu parah. Separah-parahnya. Dan, luka itu kian menganga pada dinding-dinding qalbu. Merebak menjadi sakit yang berkepanjangan. Memercikkan serpihan-serpihan pilu lainnya yang membuat jiwaku serasa akan meledak bak senapan. Dan, dengan bodohnya... aku tak tahu obat apa yang 'kan menyembuhkan hatiku yang terlanjur remuk sampai tak berbentuk.

Duhai hatiku yang terluka, kumohon maafkan aku atas ketidakberanianku untuk berkata jujur padanya. Maaf... Kubiarkan dirimu (hati) terus jatuh dan jatuh lagi pada lembah sedu yang sama. Kuabaikan hatiku yang merintih menahan pedih, dan lama kelamaan pedih itu semakin terpenjara oleh senyuman semu di bibirku. Aku pun mendustai hatiku yang berteriak-teriak menyebut namamu saat kau bilang bahwa kau akan pergi dari tempat penuh kenangan ini. Kau... benar-benar akan pergi meninggalkanku, dan segenap hatiku yang memendam rasa padamu sejak lama.

Teruntuk dirimu yang telah pergi tanpa pamit padaku, kuharap akan ada temu yang 'kan menyingkapkan tabir qalbu yang selama ini kututup-tutupi dari dirimu. Dan, di sini aku hanya bisa mendoakan yang terbaik untukmu. Aku pun yakin bahwa rencana Allah belum sepenuhnya terbuka lebar-lebar untukku. Maka, kubiarkan Sang Pencipta Semesta menunjukkan kemahabesarannya pada waktu yang tepat. Aku... akan tetap setia menunggu apa yang sebenarnya sedang Allah rencanakan untukku juga dirimu. Jika ternyata dalam penantian nan panjang ini, lukaku telah pulih dan benar-benar tertutup oleh seseorang yang bukan dirimu. Itu berarti... Allah punya rencana lain untuk kita. Namun, jika ternyata kau dan aku bersua kembali dan kau pun sadar; bahwa akulah mega yang selama ini menemanimu, mencintaimu diam-diam, merindukanmu dalam-dalam, dan mendoakanmu di malam kelam... itu berarti Sang Pemilik Semesta telah menghendaki kita 'tuk bersatu walau jarak membentang sejauh apa pun.

"Terima kasih, Allah... Kau telah mengajarkanku arti sabar dari setiap lekuk peristiwa yang terjadi dalam hidupku. Aku percaya; rencana-Mu pasti lebih indah dari apa yang telah kurencanakan," gumamku seraya menatap langit biru dan mega-mega yang berserakkan disekelilingnya.

***

Kamis, 20 April 2017
Ciamis;;; 📝19:53 WIB 📃

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Maka Biarkan Aku Menangis 💧

Luka, Harapan, dan Secercah Cahaya dari Tuhan

Celotehan Akhwat Akhir Zaman