Kita dan Pertemuan Tanpa Pembicaraan


Sejak mentari mulai merangkak dari balik bukit, sejak sinarnya perlahan-lahan mulai terbit di ujung samudera nan megah,... sejak itu pula aku mulai jarang melihat batang hidungmu. Melihat tatapan teduhmu. Mendengar suaramu. Dan, melihat keindahan yang tercipta lewat ukiran senyummu- yang kemudian pancarkan binar di sorot matamu.




Aku selalu berpikir tentang; bagaimana keadaanmu di saat sang fajar mulai menyemburat hangat. Sepagi itu, aku masih menyempatkan waktu luangku 'tuk tak mengabaikanmu walau dalam kebisuanku. Aku masih peduli meski peduliku tak selalu kuperlihatkan padamu. Sebab, tak ada alasan untuk membuatku berhenti mempedulikanmu. Dan, yang benar-benar memang kerapkali tampak biasa-biasa saja. Tampak samar meski tanpa ada keraguan di sana.

Jika pun kita bertemu, itu pun hanya berpapasan saja. Singkat. Hanya cukup melontarkan nama dan saling melengkungkan senyuman ramah. Sesingkat itu. Lantas, kau dan aku pun melenggang ke jalan yang berbeda. Berpisah di persimpangan dengan meninggalkan tanya di benak masing-masing. Entah...

Dalam jarak yang masih bisa kuhitung, tatapmu pun masih bisa kupandang meski dari kejauhan. Meski dengan berpuluh-puluh langkah saja... aku bisa dengan mudah menemuimu, tapi tak semudah itu aku harus menghampirimu. Bukan karena aku takut. Namun, karena aku hanya berusaha menjaga jarak denganmu saja. Sebab, jarak diantara kita boleh saja membuat pikiran mereka bertanya-tanya. 'Ada apa diantara Mega dan Langit biru?'

Aku hanya sedang belajar membentengi perasaanku; dari berbahayanya rasa yang membutakan mata hati. Menata perasaan agar jantungku tak terlalu berdegup tanpa aturan saat tiba-tiba harus berada di hadapanmu. Menahan rindu yang seringkali menjalari hati. Dan, menabahkan qalbuku yang kadang kala terbakar cemburu saat melihatmu sedang berbincang berdua dengan wanita lain. Semua itu kulakukan demi kebaikan kau dan aku. Bahwa; aku tak ingin melukai hati siapa pun, yang juga menyimpan perasaan padamu. Atau... seseorang yang merupakan bagian dari masa lalumu.

Terang saja, secara tersirat kau dan aku terlihat sama-sama sedang membuat JARAK. Jarak yang kian merentang jauh. Membentang makin panjang. Jarak yang entah tercipta karena alasan apa. Yang pasti... jarak yang tengah kita buat ini menimbulkan kata 'entah' di akhir kalimat yang penuh tanya. Entah...

Lambat-laun, kau dan aku hanya bisa menciptakan pertemuan-pertemuan tanpa pembicaraan apa pun. Tanpa sepatah kata pun. Tak sekreatif dahulu.

Apakah pembahasan dalam benakmu sudah habis untuk dibahas? Atau... aku yang malah kehabisan kata-kata tiapkali berjumpa denganmu tanpa sengaja.

Ach! Sudahlah. Kubiarkan ini terjadi saja. Nasi sudah menjadi bubur. Toh, hari esok masih menjadi rahasia Ilahi. Maka, kubiarkan hati ini tetap berdawai dalam rindu nan sunyi. Kubiarkan waktu terus berlalu tanpa ada pembicaraan antara kau dan aku. Mengalir. Biarkan kekosongan pembicaraan ini mengalir seperti air. Karena, suatu saat aku akan membutuhkanmu. Dan, kau pun membutuhkanku sebagai sahabatmu. Bukankah manusia memang saling membutuhkan dan tak bisa hidup seorang diri?

Biarlah. Esok adalah rahasia-Nya. Biar...

***
Minggu, 12 Februari 2017

( Kita dan Pertemuan Tanpa Pembicaraan ) ✏⭐

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Maka Biarkan Aku Menangis 💧

Luka, Harapan, dan Secercah Cahaya dari Tuhan

Celotehan Akhwat Akhir Zaman